SALINAN
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 78 TAHUN 2015
TENTANG PENGUPAHAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa
untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 97 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2)
Undang-Undang Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH
TENTANG PENGUPAHAN.
-
2 -
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam Peraturan
Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi
kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
2. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
3. Pengusaha
adalah:
a.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.
orang perseorangan, persekutuan, atau
badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau
badan hukum yang berada
di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan
huruf b yang berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
4. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk
usaha yang berbadan
hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;
b.
usaha-usaha . . .
-
3 -
b. usaha-usaha
sosial
dan
usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5. Perjanjian Kerja
adalah
perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja,
hak, dan kewajiban para pihak.
6. Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat
secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-
syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
7.
Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau
beberapa serikat pekerja/serikat buruh
yang
tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak.
8. Hubungan
Kerja adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian
kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah.
9. Pemutusan Hubungan
Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak
dan
kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
10. Serikat
Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di
luar perusahaan, yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
11.
Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
- 4 - Pasal 2
Hak
Pekerja/Buruh atas Upah timbul pada saat terjadi
Hubungan Kerja antara
Pekerja/Buruh dengan
Pengusaha dan berakhir pada saat putusnya Hubungan
Kerja.
BAB II KEBIJAKAN PENGUPAHAN
Pasal
3
(1)
Kebijakan pengupahan diarahkan untuk pencapaian penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak
bagi Pekerja/Buruh.
(2)
Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a.
Upah minimum;
b. Upah kerja lembur;
c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d.
Upah tidak masuk kerja
karena
melakukan kegiatan lain di luar
pekerjaannya;
e.
Upah karena menjalankan hak waktu
istirahat
kerjanya;
f.
bentuk dan cara pembayaran Upah;
g. denda dan
potongan Upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang
proporsional;
j. Upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
-
5 -
BAB III PENGHASILAN YANG
LAYAK
Pasal
4
(1) Penghasilan yang
layak merupakan
jumlah penerimaan atau pendapatan
Pekerja/Buruh
dari
hasil pekerjaannya sehingga mampu
memenuhi kebutuhan hidup Pekerja/Buruh dan keluarganya secara
wajar.
(2)
Penghasilan yang layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
a.
Upah; dan
b. pendapatan non Upah.
Pasal
5
(1) Upah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2)
huruf a terdiri
atas komponen:
a. Upah tanpa tunjangan;
b. Upah pokok dan tunjangan tetap; atau
c.
Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap.
(2)
Dalam hal komponen
Upah terdiri dari Upah pokok dan
tunjangan tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, besarnya Upah pokok paling sedikit
75%
(tujuh
puluh
lima
persen)
dari
jumlah
Upah
pokok dan tunjangan tetap.
(3) Dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok, tunjangan tetap, dan
tunjangan tidak
tetap sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
huruf
c, besarnya Upah pokok paling sedikit
75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok
dan tunjangan tetap.
(4)
Upah . . .
-
6 -
(4)
Upah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian
Kerja Bersama.
Pasal
6
(1)
Pendapatan non Upah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b berupa tunjangan hari raya
keagamaan.
(2) Selain tunjangan hari raya keagamaan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pengusaha dapat memberikan pendapatan non Upah
berupa:
a.
bonus;
b. uang pengganti fasilitas kerja; dan/atau
c. uang servis pada usaha tertentu.
Pasal
7
(1)
Tunjangan hari
raya
keagamaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) wajib
diberikan oleh Pengusaha kepada
Pekerja/Buruh.
(2) Tunjangan hari
raya
keagamaan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1)
wajib
dibayarkan
paling
lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan.
(3) Ketentuan mengenai tunjangan hari raya
keagamaan dan tata cara
pembayarannya diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal
8
(1) Bonus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a dapat diberikan
oleh
Pengusaha
kepada
Pekerja/Buruh atas keuntungan Perusahaan.
(2)
Penetapan . . .
-
7 -
(2)
Penetapan perolehan bonus
untuk masing-masing
Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian
Kerja Bersama.
Pasal
9
(1) Perusahaan dapat menyediakan fasilitas
kerja bagi:
a. Pekerja/Buruh dalam jabatan/pekerjaan tertentu;
atau
b. seluruh Pekerja/Buruh.
(2) Dalam
hal
fasilitas kerja
bagi
Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak tersedia atau tidak mencukupi, Perusahaan dapat memberikan uang pengganti fasilitas kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) huruf
b.
(3) Penyediaan fasilitas
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemberian uang pengganti fasilitas kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal
10
(1) Uang
servis pada usaha
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6
ayat
(2)
huruf
c dikumpulkan dan dikelola oleh
Perusahaan.
(2) Uang
servis pada usaha
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibagikan kepada Pekerja/Buruh
setelah dikurangi risiko kehilangan
atau kerusakan dan pendayagunaan peningkatan kualitas sumber daya
manusia.
(3)
Ketentuan mengenai uang servis pada
usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
-
8 -
BAB IV PELINDUNGAN UPAH
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal
11
Setiap
Pekerja/Buruh
berhak
memperoleh Upah yang sama untuk pekerjaan yang sama
nilainya.
Bagian
Kedua
Penetapan
Upah
Pasal
12
Upah ditetapkan
berdasarkan:
a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil.
Pasal
13
(1)
Upah berdasarkan satuan
waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf a ditetapkan secara
harian, mingguan, atau bulanan.
(2) Dalam hal
Upah ditetapkan secara harian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1),
perhitungan Upah sehari sebagai berikut:
a.
bagi Perusahaan dengan sistem
waktu
kerja
6
(enam) hari dalam seminggu,
Upah sebulan dibagi
25 (dua puluh lima); atau
b.
bagi Perusahaan dengan sistem
waktu
kerja
5
(lima) hari dalam seminggu,
Upah sebulan dibagi
21 (dua puluh satu).
- 9 - Pasal 14
(1) Penetapan
besarnya Upah berdasarkan satuan waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a dilakukan dengan berpedoman pada struktur dan skala Upah.
(2) Struktur
dan skala Upah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun oleh Pengusaha dengan
memperhatikan golongan, jabatan, masa
kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(3)
Struktur dan skala Upah
sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib diberitahukan kepada seluruh Pekerja/Buruh.
(4)
Struktur dan skala
Upah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus
dilampirkan oleh Perusahaan
pada saat permohonan:
a. pengesahan dan
pembaruan Peraturan
Perusahaan; atau
b. pendaftaran, perpanjangan, dan
pembaruan
Perjanjian Kerja
Bersama.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur
dan skala Upah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal
15
(1)
Upah berdasarkan satuan
hasil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf b ditetapkan sesuai
dengan hasil pekerjaan yang telah disepakati.
(2) Penetapan
besarnya Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Pengusaha berdasarkan hasil kesepakatan antara
Pekerja/Buruh dengan Pengusaha.
- 10 - Pasal 16
Penetapan Upah
sebulan
berdasarkan satuan
hasil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
b,
untuk pemenuhan pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan ditetapkan
berdasarkan Upah rata- rata 3 (tiga)
bulan terakhir yang diterima oleh
Pekerja/Buruh.
Bagian
Ketiga
Cara
Pembayaran Upah
Pasal
17
(1) Upah wajib dibayarkan kepada
Pekerja/Buruh yang bersangkutan.
(2)
Pengusaha wajib memberikan bukti
pembayaran Upah yang memuat rincian
Upah yang diterima oleh Pekerja/Buruh
pada saat Upah dibayarkan.
(3)
Upah dapat dibayarkan kepada pihak ketiga
dengan surat kuasa dari Pekerja/Buruh yang bersangkutan.
(4) Surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya berlaku untuk 1 (satu) kali
pembayaran Upah.
Pasal
18
(1) Pengusaha
wajib membayar Upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara
Pengusaha dengan Pekerja/Buruh.
(2) Dalam
hal hari atau
tanggal yang telah disepakati
jatuh pada hari libur atau hari yang
diliburkan, atau hari istirahat
mingguan, pelaksanaan pembayaran Upah diatur dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian
Kerja Bersama.
Pasal
19 . . .
- 11 - Pasal 19
Pembayaran Upah oleh
Pengusaha
dilakukan
dalam
jangka waktu paling cepat seminggu
1 (satu) kali atau
paling lambat sebulan 1 (satu) kali kecuali bila Perjanjian
Kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.
Pasal
20
Upah Pekerja/Buruh harus
dibayarkan seluruhnya pada setiap
periode dan per tanggal pembayaran Upah.
Pasal
21
(1)
Pembayaran Upah harus dilakukan dengan
mata uang rupiah Negara Republik Indonesia.
(2) Pembayaran Upah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan pada tempat
yang
diatur dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
(3)
Dalam hal tempat
pembayaran Upah tidak diatur dalam Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan atau Perjanjian
Kerja Bersama, maka pembayaran Upah dilakukan di tempat Pekerja/Buruh
biasanya bekerja.
Pasal
22
(1)
Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dibayarkan secara langsung atau
melalui bank.
(2) Dalam
hal Upah dibayarkan melalui
bank, maka Upah harus sudah dapat
diuangkan oleh Pekerja/Buruh pada tanggal pembayaran Upah yang disepakati
kedua belah pihak.
-
12 -
Bagian
Keempat
Peninjauan
Upah
Pasal
23
(1) Pengusaha
melakukan peninjauan Upah
secara berkala untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup dan/atau peningkatan produktivitas kerja
dengan
mempertimbangkan kemampuan Perusahaan.
(2) Peninjauan Upah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Bagian
Kelima
Upah Pekerja/Buruh Tidak Masuk Kerja dan/atau
Tidak Melakukan Pekerjaan
Pasal
24
(1) Upah tidak dibayar
apabila
Pekerja/Buruh
tidak
masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan.
(2)
Pekerja/Buruh yang tidak
masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena
alasan:
a. berhalangan;
b. melakukan kegiatan
lain
di
luar
pekerjaannya;
atau
c. menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
tetap dibayar
Upahnya.
(3)
Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk kerja dan/atau
tidak melakukan pekerjaan karena
berhalangan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(2)
huruf
a meliputi:
a.
Pekerja/Buruh sakit
sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
-
13 -
b.
Pekerja/Buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya
sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; dan
c. Pekerja/Buruh tidak masuk bekerja karena:
1) menikah;
2)
menikahkan anaknya;
3) mengkhitankan anaknya;
4) membaptiskan anaknya;
5)
isteri melahirkan atau keguguran kandungan;
6)
suami, isteri, orang
tua,
mertua,
anak, dan/atau menantu meninggal dunia;
atau
7)
anggota keluarga selain sebagaimana
dimaksud pada angka 6) yang tinggal dalam satu rumah meninggal dunia.
(4)
Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk kerja dan/atau
tidak melakukan pekerjaan karena melakukan kegiatan lain
di luar pekerjaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
meliputi:
a. menjalankan kewajiban terhadap negara;
b.
menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan
agamanya;
c. melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh
atas persetujuan Pengusaha dan
dapat dibuktikan dengan adanya
pemberitahuan tertulis; atau
d.
melaksanakan tugas pendidikan dari Perusahaan.
(5) Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk kerja dan/atau
tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c
apabila
Pekerja/Buruh
melaksanakan:
a. hak istirahat mingguan;
b. cuti tahunan;
c. istirahat panjang;
d. cuti sebelum dan sesudah melahirkan; atau e.
cuti keguguran kandungan.
- 14 - Pasal 25
Pengusaha wajib membayar Upah apabila Pekerja/Buruh
bersedia melakukan pekerjaan
yang telah
dijanjikan tetapi Pengusaha tidak mempekerjakannya, karena kesalahan sendiri
atau kendala yang seharusnya
dapat dihindari Pengusaha.
Pasal
26
(1) Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan
pekerjaan karena sakit
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a sebagai berikut:
a.
untuk 4 (empat) bulan pertama,
dibayar 100% (seratus persen)
dari Upah;
b.
untuk 4 (empat) bulan kedua,
dibayar 75% (tujuh puluh lima persen) dari
Upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh persen) dari Upah; dan
d. untuk
bulan selanjutnya dibayar 25%
(dua
puluh lima persen) dari
upah
sebelum Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan oleh Pengusaha.
(2) Upah
yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh
perempuan yang tidak masuk kerja dan/atau
tidak melakukan pekerjaan karena sakit
pada
hari pertama dan kedua masa haidnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat
(3)
huruf
b disesuaikan dengan jumlah hari menjalani masa sakit haidnya, paling lama 2
(dua) hari.
(3) Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (3) huruf c sebagai berikut:
-
15 -
a. Pekerja/Buruh menikah, dibayar
untuk selama
3 (tiga) hari;
b.
menikahkan anaknya, dibayar untuk
selama 2 (dua) hari;
c.
mengkhitankan anaknya, dibayar
untuk selama
2 (dua) hari;
d.
membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2
(dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk
selama 2 (dua) hari;
f. suami, isteri, orang tua,
mertua, anak, dan/atau menantu meninggal dunia,
dibayar
untuk selama 2 (dua) hari; atau
g. anggota keluarga selain sebagaimana dimaksud dalam huruf f yang tinggal dalam
1 (satu) rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
Pasal
27
(1) Pekerja/Buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat (4) huruf a tidak melebihi 1 (satu) tahun
dan
penghasilan yang diberikan oleh negara kurang
dari besarnya Upah yang biasa diterima Pekerja/Buruh, Pengusaha wajib membayar kekurangannya.
(2) Pekerja/Buruh yang menjalankan
kewajiban terhadap negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat
(4) huruf a tidak melebihi
1
(satu)
tahun
dan
penghasilan yang diberikan oleh negara
sama atau lebih besar dari
Upah
yang
biasa diterima Pekerja/Buruh, Pengusaha tidak
wajib membayar.
(3)
Pekerja/Buruh yang menjalankan
kewajiban terhadap negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
memberitahukan secara tertulis
kepada Pengusaha.
- 16 - Pasal 28
Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh
yang tidak masuk kerja atau tidak
melakukan pekerjaannya karena menjalankan kewajiban
ibadah
yang diperintahkan oleh agamanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf b, sebesar
Upah yang diterima oleh Pekerja/Buruh
dengan ketentuan hanya sekali selama Pekerja/Buruh bekerja di Perusahaan yang bersangkutan.
Pasal
29
Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh
yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan
pekerjaan karena melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat
buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf c, sebesar
Upah yang biasa diterima oleh
Pekerja/Buruh.
Pasal
30
Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh
yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melaksanakan
tugas
pendidikan dari Perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf d, sebesar Upah
yang biasa diterima oleh
Pekerja/Buruh.
Pasal
31
Pengusaha
wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan
pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5),
sebesar Upah yang biasa diterima oleh Pekerja/Buruh.
- 17 - Pasal 32
Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
24
sampai
dengan Pasal 31 ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.
Bagian
Keenam
Upah
Kerja Lembur
Pasal
33
Upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) huruf b wajib dibayar oleh Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh
melebihi
waktu kerja atau
pada istirahat mingguan
atau dipekerjakan pada hari libur resmi sebagai kompensasi kepada Pekerja/Buruh yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian
Ketujuh
Upah
untuk Pembayaran Pesangon
Pasal
34
(1)
Komponen Upah yang
digunakan sebagai
dasar perhitungan uang pesangon terdiri
atas:
a.
Upah pokok; dan
b.
tunjangan tetap yang
diberikan kepada Pekerja/Buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada Pekerja/Buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar
Pekerja/Buruh dengan subsidi, maka sebagai Upah dianggap
selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh Pekerja/Buruh.
-
18 -
(2) Dalam
hal Pengusaha memberikan
Upah
tanpa tunjangan, dasar perhitungan uang pesangon dihitung dari besarnya Upah
yang diterima Pekerja/Buruh.
Pasal
35
Upah
untuk pembayaran pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) diberikan
dengan ketentuan:
a.
dalam hal penghasilan Pekerja/Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 (tiga puluh) kali penghasilan sehari;
b. dalam hal Upah Pekerja/Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan
atau komisi, penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata
per hari selama 12 (dua belas) bulan
terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan Upah minimum provinsi atau kabupaten/kota; atau
c. dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca
dan Upahnya didasarkan pada Upah borongan,
maka perhitungan Upah sebulan
dihitung dari Upah rata-
rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
Bagian
Kedelapan
Upah untuk Perhitungan Pajak Penghasilan
Pasal
36
(1) Upah
untuk perhitungan
pajak penghasilan yang dibayarkan untuk pajak penghasilan dihitung dari seluruh penghasilan
yang
diterima oleh Pekerja/Buruh.
-
19 -
(2) Pajak penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dibebankan kepada
Pengusaha atau Pekerja/Buruh yang
diatur dalam Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama.
(3)
Upah untuk perhitungan pajak
penghasilan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian
Kesembilan
Pembayaran
Upah dalam Keadaan Kepailitan
Pasal
37
(1)
Pengusaha yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pernyataan pailit oleh
pengadilan
maka
Upah dan
hak-hak lainnya
dari
Pekerja/Buruh
merupakan hutang yang didahulukan pembayarannya.
(2)
Upah Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Hak-hak
lainnya dari Pekerja/Buruh
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya setelah pembayaran para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
Pasal
38
Apabila Pekerja/Buruh jatuh pailit, Upah dan segala
pembayaran yang timbul dari Hubungan Kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan lain oleh hakim dengan ketentuan tidak melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari Upah dan segala pembayaran yang timbul dari Hubungan Kerja yang harus dibayarkan.
Bagian
. . .
-
20 -
Bagian
Kesepuluh
Penyitaan
Upah Berdasarkan Perintah Pengadilan
Pasal
39
Apabila uang yang disediakan oleh Pengusaha
untuk membayar Upah disita
oleh juru sita
berdasarkan perintah pengadilan maka
penyitaan tersebut tidak boleh
melebihi 20% (dua puluh persen) dari
jumlah Upah yang harus dibayarkan.
Bagian
Kesebelas
Hak Pekerja/Buruh Atas Keterangan Upah
Pasal
40
(1) Pekerja/Buruh atau kuasa yang ditunjuk secara sah berhak meminta keterangan mengenai
Upah untuk dirinya dalam hal keterangan terkait Upah tersebut hanya dapat diperoleh melalui
buku
Upah
di Perusahaan.
(2) Apabila permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil maka
Pekerja/Buruh atau kuasa
yang
ditunjuk
berhak
meminta bantuan kepada pengawas ketenagakerjaan.
(3)
Keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dirahasiakan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB
V . . .
-
21 -
BAB V UPAH MINIMUM
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal
41
(1)
Gubernur menetapkan Upah
minimum sebagai jaring pengaman.
(2)
Upah minimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan Upah bulanan terendah yang
terdiri atas: a. Upah tanpa
tunjangan; atau
b. Upah pokok termasuk tunjangan tetap.
Pasal
42
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal
41 ayat (1) hanya berlaku bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja kurang
dari 1 (satu) tahun pada Perusahaan
yang bersangkutan.
(2) Upah bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara Pekerja/Buruh dengan
Pengusaha
di
Perusahaan
yang bersangkutan.
Pasal
43
(1)
Penetapan Upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi.
(2) Kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan standar
kebutuhan seorang
Pekerja/Buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1
(satu) bulan.
-
22 -
(3)
Kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas
beberapa komponen.
(4)
Komponen sebagaimana dimaksud pada
ayat
(3)
terdiri
atas beberapa jenis kebutuhan hidup.
(5)
Komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan jenis kebutuhan
hidup
sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditinjau dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.
(6)
Peninjauan komponen dan
jenis kebutuhan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh
Menteri dengan mempertimbangkan hasil kajian yang dilaksanakan oleh Dewan
Pengupahan Nasional.
(7) Kajian
yang dilaksanakan oleh Dewan Pengupahan Nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat
(6)
menggunakan data dan
informasi yang bersumber dari lembaga yang berwenang di
bidang statistik.
(8) Hasil peninjauan komponen dan
jenis kebutuhan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi dasar perhitungan
Upah minimum selanjutnya dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
(9)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai kebutuhan
hidup layak diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal
44
(1) Penetapan
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat
(1)
dihitung dengan menggunakan formula perhitungan
Upah minimum.
(2)
Formula perhitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai
berikut:
UMn = UMt
+ {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt)}
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan Upah minimum dengan
menggunakan formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
-
23 -
Bagian
Kedua
Penetapan
Upah minimum Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota
Pasal
45
(1)
Gubernur wajib menetapkan Upah minimum
provinsi. (2) Penetapan Upah
minimum
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan formula perhitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (2).
(3) Dalam
hal telah dilakukan peninjauan
kebutuhan hidup layak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (5), gubernur menetapkan Upah minimum provinsi dengan memperhatikan rekomendasi dewan pengupahan provinsi.
(4) Rekomendasi dewan pengupahan provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat
(3)
didasarkan
pada hasil peninjauan kebutuhan hidup layak yang komponen dan jenisnya
ditetapkan oleh Menteri dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pasal
46
(1)
Gubernur dapat menetapkan
Upah minimum kabupaten/kota.
(2)
Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
lebih besar dari Upah minimum provinsi di provinsi yang bersangkutan.
Pasal
47
(1) Penetapan Upah
minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
46
dihitung
berdasarkan formula perhitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (2).
(2)
Dalam . . .
-
24 -
(2) Dalam
hal telah
dilakukan peninjauan kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (5), gubernur menetapkan Upah minimum kabupaten/kota dengan memperhatikan rekomendasi bupati/walikota serta
saran dan pertimbangan dewan
pengupahan provinsi.
(3)
Rekomendasi bupati/walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berdasarkan saran dan
pertimbangan dewan pengupahan kabupaten/kota.
(4) Rekomendasi bupati/walikota serta
saran
dan pertimbangan dewan pengupahan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
saran dan pertimbangan dewan
pengupahan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) didasarkan pada hasil
peninjauan kebutuhan hidup layak yang komponen dan jenisnya ditetapkan oleh Menteri dan dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Pasal
48
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upah minimum provinsi dan/atau kabupaten/kota diatur
dengan Peraturan Menteri.
Bagian
Ketiga
Penetapan
Upah Minimum
Sektoral Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota
Pasal
49
(1) Gubernur dapat menetapkan Upah minimum sektoral provinsi dan/atau kabupaten/kota
berdasarkan hasil kesepakatan asosiasi pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh pada
sektor yang bersangkutan.
-
25 -
(2) Penetapan
Upah minimum
sektoral sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan setelah mendapat saran dan pertimbangan mengenai sektor
unggulan dari dewan pengupahan provinsi atau
dewan pengupahan kabupaten/kota sesuai
dengan tugas dan kewenangannya.
(3)
Upah minimum sektoral provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari Upah minimum provinsi di provinsi yang
bersangkutan.
(4) Upah minimum sektoral kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus
lebih besar dari Upah
minimum
kabupaten/kota di kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pasal
50
Ketentuan
lebih lanjut mengenai Upah minimum sektoral provinsi dan/atau kabupaten/kota
diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB
VI
HAL-HAL
YANG DAPAT DIPERHITUNGKAN DENGAN UPAH
Pasal
51
(1)
Hal-hal yang dapat diperhitungkan
dengan
Upah
terdiri atas:
a.
denda;
b. ganti rugi;
c. pemotongan Upah untuk pihak ketiga;
d. uang muka Upah;
e. sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik Perusahaan yang disewakan oleh
Pengusaha kepada Pekerja/Buruh;
-
26 -
f. hutang
atau cicilan hutang
Pekerja/Buruh kepada
Pengusaha;
dan/atau
g. kelebihan pembayaran Upah.
(2) Hal-hal
yang dapat diperhitungkan dengan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf
b, dan huruf
d,
dilaksanakan sesuai
dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal
52
Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan
Kerja, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 yang menjadi
kewajiban Pekerja/Buruh yang belum dipenuhi
dan/atau piutang Pekerja/Buruh yang menjadi hak Pekerja/Buruh yang belum
terpenuhi dapat diperhitungkan dengan
semua hak yang diterima
sebagai akibat Pemutusan Hubungan Kerja.
BAB
VII
PENGENAAN
DENDA DAN PEMOTONGAN UPAH
Bagian
Kesatu
Pengenaan
Denda
Pasal
53
Pengusaha atau Pekerja/Buruh
yang melanggar ketentuan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan,
atau Perjanjian Kerja Bersama karena
kesengajaan atau kelalaiannya dikenakan
denda apabila diatur
secara tegas dalam Perjanjian
Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja
Bersama.
Pasal
54 . . .
- 27 - Pasal 54
(1) Denda kepada Pengusaha atau
Pekerja/Buruh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipergunakan hanya untuk kepentingan
Pekerja/Buruh.
(2)
Jenis-jenis pelanggaran yang dapat dikenakan denda, besaran denda dan penggunaan uang denda diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal
55
(1)
Pengusaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53
yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai denda, dengan ketentuan:
a. mulai dari hari keempat
sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya
Upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) untuk setiap hari keterlambatan dari
Upah
yang seharusnya dibayarkan;
b.
sesudah hari kedelapan, apabila
Upah masih belum dibayar, dikenakan
denda keterlambatan sebagaimana dimaksud
dalam
huruf
a
ditambah
1% (satu persen) untuk setiap hari keterlambatan
dengan ketentuan 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari Upah yang
seharusnya dibayarkan; dan
c. sesudah sebulan, apabila
Upah
masih belum dibayar, dikenakan denda
keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditambah bunga
sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.
(2)
Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha
untuk
tetap membayar Upah kepada Pekerja/Buruh.
- 28 - Pasal 56
(1) Pengusaha yang terlambat membayar tunjangan hari
raya keagamaan kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total tunjangan hari raya keagamaan yang
harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar.
(2) Pengenaan
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar tunjangan hari raya
keagamaan
kepada Pekerja/Buruh.
Bagian
Kedua
Pemotongan
Upah
Pasal
57
(1) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk:
a. denda;
b. ganti rugi; dan/atau c. uang muka Upah,
dilakukan sesuai
dengan Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan,
atau Peraturan Kerja Bersama.
(2)
Pemotongan Upah oleh Pengusaha
untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan apabila ada surat kuasa dari
Pekerja/Buruh.
(3)
Surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
setiap
saat dapat ditarik kembali.
(4) Surat
kuasa dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dikecualikan untuk semua kewajiban pembayaran
oleh Pekerja/Buruh terhadap negara atau iuran sebagai peserta pada suatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial
yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-
29 -
(5) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk:
a. pembayaran hutang atau
cicilan hutang
Pekerja/Buruh; dan/atau
b.
sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik Perusahaan yang disewakan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh,
harus
dilakukan
berdasarkan kesepakatan tertulis
atau perjanjian tertulis.
(6) Pemotongan Upah oleh Pengusaha
untuk kelebihan pembayaran Upah kepada
Pekerja/Buruh dilakukan tanpa
persetujuan Pekerja/Buruh.
Pasal
58
Jumlah keseluruhan pemotongan Upah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
paling banyak 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang
diterima Pekerja/Buruh.
BAB
VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal
59
(1)
Sanksi administratif dikenakan kepada
Pengusaha yang:
a. tidak
membayar tunjangan hari
raya keagamaan kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan
ayat (2);
b. tidak membagikan uang servis pada usaha tertentu kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2);
-
30 -
c. tidak menyusun struktur dan
skala
Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) serta tidak memberitahukan kepada
seluruh Pekerja/Buruh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
14 ayat (3);
d.
tidak membayar Upah sampai melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19;
e. tidak memenuhi kewajibannya
untuk
membayar
denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53; dan/atau
f. melakukan pemotongan Upah lebih dari 50% (lima puluh persen) dari setiap
pembayaran Upah yang diterima Pekerja/Buruh
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 58.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa:
a.
teguran tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat
produksi; dan
d.
pembekuan kegiatan usaha.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pemberian sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal
60
(1)
Menteri, menteri terkait, gubernur,
bupati/walikota, atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
59
kepada Pengusaha.
-
31 -
(2)
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh
pengawas ketenagakerjaan yang berasal
dari:
a.
pengaduan; dan/atau
b. tindak lanjut hasil pengawasan
ketenagakerjaan.
(3) Pemeriksaan yang
dilakukan oleh
pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
61
Pengusaha yang telah dikenai sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) tidak menghilangkan kewajibannya untuk membayar hak Pekerja/Buruh.
Pasal
62
Menteri terkait, gubernur, bupati/walikota, atau pejabat yang
ditunjuk memberitahukan pelaksanaan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59
ayat (2) kepada Menteri.
BAB IX KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
63
Pada
saat Peraturan Pemerintah ini berlaku:
a. upah
minimum provinsi yang
masih
dibawah kebutuhan hidup layak, gubernur
wajib menyesuaikan Upah minimun
provinsi
sama
dengan
kebutuhan
hidup layak secara bertahap paling lama 4 (empat)
tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan;
-
32 -
b. Pengusaha yang belum
menyusun
dan
menerapkan
struktur dan skala
Upah,
wajib
menyusun dan menerapkan struktur dan skala Upah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini serta melampirkannya dalam permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (4) paling lama 2 (tahun) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal
64
Pada saat Peraturan
Pemerintah
ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai pengupahan dan Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
Upah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal
65
Pada
saat Peraturan Pemerintah
ini mulai berlaku, Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Perlindungan Upah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3190), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
66
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
- 33 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di
Jakarta
pada tanggal 23
Oktober 2015
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA, ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 23
Oktober 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd. YASONNA H.
LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 237
PENJELASAN ATAS
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 78 TAHUN 2015
TENTANG
PENGUPAHAN
I. UMUM
Upah
merupakan salah satu aspek yang
paling sensitif di dalam Hubungan Kerja. Berbagai pihak yang terkait melihat Upah dari sisi masing-masing yang berbeda. Pekerja/Buruh melihat Upah sebagai sumber penghasilan guna
memenuhi kebutuhan hidup Pekerja/Buruh dan keluarganya. Secara psikologis Upah
juga dapat menciptakan kepuasan bagi Pekerja/Buruh.
Di lain pihak, Pengusaha melihat Upah sebagai salah satu biaya produksi.
Pemerintah melihat Upah, di satu
pihak untuk tetap dapat menjamin terpenuhinya kehidupan yang layak bagi
Pekerja/Buruh dan keluarganya,
meningkatkan produktivitas Pekerja/Buruh, dan meningkatkan daya beli
masyarakat.
Dengan melihat berbagai kepentingan
yang berbeda tersebut, pemahaman sistem
pengupahan serta pengaturannya sangat diperlukan untuk
memperoleh kesatuan pengertian dan penafsiran terutama antara Pekerja/Buruh dan
Pengusaha.
Agar terpenuhinya kehidupan yang
layak, penghasilan Pekerja/Buruh harus dapat
memenuhi kebutuhan fisik,
non
fisik dan sosial, yang meliputi makanan, minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan,
jaminan hari tua, dan rekreasi.
Untuk
itu kebijakan pengupahan juga harus mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi dan
perluasan kesempatan kerja serta meningkatkan kesejahteraan Pekerja/Buruh
beserta keluarganya.
Peraturan
. . .
-
2 -
Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan
tuntutan keadaan. Oleh karena itu,
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981
perlu dilakukan penyempurnaan. Peraturan Pemerintah ini diharapkan dapat dipakai sebagai pegangan
dalam
pelaksanaan Hubungan Kerja dalam menangani berbagai
permasalahan di bidang
pengupahan yang
semakin kompleks.
Untuk peningkatan kesejahteraan
|
Pekerja/Buruh
|
dan
|
keluarganya yang
mendorong kemajuan
|
dunia usaha
|
serta
|
produktivitas kerja, ketentuan mengenai
pengaturan penghasilan yang
layak, kebijakan pengupahan,
pelindungan pengupahan, penetapan Upah minimum, dan pengenaan
denda dalam Peraturan Pemerintah diarahkan pada sistem pengupahan secara menyeluruh. Peraturan
Pemerintah ini pada hakekatnya mengatur pengupahan secara menyeluruh yang mampu menjamin kelangsungan hidup secara layak bagi
Pekerja/Buruh dan keluarganya sesuai dengan perkembangan dan kemampuan dunia
usaha.
Peraturan
Pemerintah ini antara lain memuat:
a.
Kebijakan pengupahan; b. Penghasilan yang layak; c. Pelindungan Upah;
d. Upah minimum;
e. Hal-hal yang dapat diperhitungkan
dengan upah;
f. Pengenaan denda dan pemotongan Upah;
dan g. Sanksi administratif.
- 3 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup
jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan ”pada saat
terjadi Hubungan Kerja” yaitu sejak adanya Perjanjian
Kerja baik tertulis maupun tidak tertulis antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh.
Yang
dimaksud dengan ”pada saat putusnya
Hubungan Kerja”, antara lain Pekerja/Buruh
meninggal dunia, adanya Persetujuan Bersama atau adanya penetapan Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Pasal 3
Cukup
jelas.
Pasal 4
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Pendapatan non Upah merupakan penerimaan Pekerja/Buruh dari pemberi kerja dalam bentuk
uang untuk pemenuhan kebutuhan keagamaan, memotivasi peningkatan produktivitas, atau peningkatan
kesejahteraan Pekerja/Buruh dan keluarganya.
- 4 -
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “Upah tanpa
tunjangan” adalah sejumlah uang yang diterima oleh Pekerja/Buruh secara tetap.
Contoh:
Seorang pekerja A menerima Upah sebesar Rp3.000.000,00
(tiga juta
rupiah) sebagai Upah bersih (clean wages). Besaran Upah tersebut utuh digunakan sebagai
dasar perhitungan hal–hal
yang terkait dengan Upah, seperti tunjangan hari raya keagamaan, Upah lembur, pesangon, iuran jaminan sosial, dan lain – lain.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Upah pokok” adalah imbalan dasar yang
dibayarkan kepada Pekerja/Buruh menurut tingkat atau jenis
pekerjaan yang besarnya ditetapkan
berdasarkan kesepakatan.
Yang dimaksud dengan
“tunjangan tetap” adalah pembayaran kepada
Pekerja/Buruh yang
dilakukan secara teratur
dan
tidak
dikaitkan
dengan kehadiran Pekerja/Buruh atau pencapaian
prestasi kerja tertentu. Contoh:
Komponen Upah terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tetap:
-
5 -
Seorang pekerja menerima Upah sebesar Rp3.000.000,00 (tiga
juta rupiah) dengan komponen Upah
pokok Rp2.250.000,00 (dua juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan tunjangan tetap Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah).
Dengan
perhitungan sebagai berikut:
Upah
yang diterima = Rp3.000.000,00 = 100%
Upah
pokok = 75% x Rp3.000.000,00 = Rp2.250.000,00
Tunjangan tetap =
25% x Rp3.000.000,00 = Rp750.000,00
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tunjangan tidak tetap” adalah suatu pembayaran yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
Pekerja/Buruh, yang diberikan secara tidak tetap untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya serta
dibayarkan menurut satuan
waktu yang tidak sama dengan
waktu pembayaran Upah pokok, seperti
tunjangan transport dan/atau tunjangan makan yang didasarkan pada kehadiran.
Contoh:
Komponen Upah terdiri atas Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap:
Seorang Pekerja/Buruh menerima Upah sebesar
Rp3.500.000,00 (tiga juta lima ratus ribu rupiah) dengan komponen Upah pokok Rp2.250.000,00 (dua juta dua
ratus lima puluh ribu rupiah),
tunjangan tetap Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), dan
tunjangan tidak tetap Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah).
Dengan
perhitungan sebagai berikut:
Upah
yang diterima = Rp3.500.000,00 = 100%
Upah
pokok = 75% x Rp3.000.000,00 = Rp2.250.000,00
-
6 -
Tunjangan tetap
=
25%
x
Rp3.000.000,00 = Rp750.000,00
Tunjangan tidak tetap = Rp500.000,00
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Huruf
a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Yang
dimaksud dengan “pada usaha tertentu” yaitu usaha perhotelan dan usaha restoran di perhotelan.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “fasilitas
kerja” adalah sarana/peralatan yang disediakan oleh Perusahaan bagi
jabatan atau pekerjaan tertentu atau seluruh Pekerja/Buruh untuk
menunjang pelaksanaan pekerjaan.
-
7 -
Contoh:
Fasilitas kendaraan, kendaraan antar jemput
Pekerja/Buruh, dan/atau pemberian
makan secara cuma-cuma.
Yang dimaksud dengan “jabatan/pekerjaan
tertentu” adalah kedudukan atau kegiatan yang
membutuhkan fasilitas dan keahlian
tertentu untuk mendukung kelancaran
pelaksanaan tugas yang ditetapkan oleh Perusahaan sebagai
penerima fasilitas kerja.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal 10
Cukup
jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “pekerjaan yang sama nilainya” adalah pekerjaan yang bobotnya sama diukur
dari kompetensi, risiko
kerja, dan tanggung jawab dalam satu Perusahaan.
Pasal 12
Cukup
jelas.
Pasal 13
Cukup
jelas.
Pasal 14
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
- 8 -
Ayat
(2)
Ayat (3) Ayat (4) Ayat (5)
Struktur
dan
skala
Upah
antara
lain dimaksudkan untuk:
a. mewujudkan Upah yang berkeadilan;
b. mendorong peningkatan produktivitas di
Perusahaan;
c. meningkatkan kesejahteraan Pekerja/Buruh; dan
d.
menjamin kepastian
Upah
dan
mengurangi kesenjangan antara Upah
terendah dan tertinggi.
Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup
jelas.
Pasal 16
Yang
dimaksud dengan ”pemenuhan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah pemenuhan kewajiban Pengusaha kepada Pekerja/Buruh antara
lain tunjangan hari raya keagamaan, Upah lembur,
uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja, Upah karena sakit, iuran dan manfaat jaminan sosial.
Pasal 17
Cukup
jelas.
Pasal 18
Cukup
jelas.
Pasal 19
Cukup
jelas.
Pasal
20 . . .
- 9 -
Pasal 20
Cukup
jelas.
Pasal 21
Cukup
jelas.
Pasal 22
Cukup
jelas.
Pasal 23
Cukup
jelas.
Pasal 24
Cukup
jelas.
Pasal 25
Yang
dimaksud dengan “Pekerja/Buruh
bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi Pengusaha tidak
mempekerjakannya” misalnya Pekerja/Buruh yang diperintahkan untuk membongkar muatan kapal akan tetapi karena sesuatu hal
kapal tersebut tidak
datang, maka Pengusaha harus
membayar Upah Pekerja/Buruh.
Pasal 26
Cukup
jelas.
Pasal 27
Cukup
jelas.
Pasal 28
Cukup
jelas.
Pasal 29
Cukup
jelas.
Pasal
30 . . .
- 10 -
Pasal 30
Cukup
jelas.
Pasal 31
Cukup
jelas.
Pasal 32
Cukup
jelas.
Pasal 33
Cukup
jelas.
Pasal 34
Cukup
jelas.
Pasal 35
Cukup
jelas.
Pasal 36
Cukup
jelas.
Pasal 37
Cukup
jelas.
Pasal 38
Seorang Pekerja/Buruh sangat dimungkinkan akan
dapat jatuh pailit yang disebabkan
tidak terbayarnya hutang kepada pihak lain, baik kepada Pengusaha
dan/atau orang lain. Untuk
menjamin kehidupan Pekerja/Buruh yang
keseluruhan harta bendanya disita, ada jaminan untuk hidup bagi dirinya beserta
keluarganya. Oleh karena itu dalam Pasal ini Upah dan pembayaran lainnya yang menjadi hak Pekerja/Buruh tidak
termasuk dalam kepailitan. Penyimpangan
terhadap ketentuan Pasal ini hanya dapat
dilakukan oleh hakim
dengan batas sampai dengan 25%
(dua puluh lima persen).
Pasal
39 . . .
- 11 -
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Penetapan Upah minimum berfungsi sebagai jaring pengaman (safety net) agar Upah tidak dibayar
lebih rendah dari Upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah dan juga agar Upah tidak
merosot sampai pada tingkat yang
membahayakan gizi Pekerja/Buruh sehingga tidak mengganggu kemampuan kerja.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat
(1) Ayat (2)
Cukup
jelas.
Formula
perhitungan Upah minimum: UMn
= UMt + {UMt x (Inflasit
+ % ∆ PDBt )} Keterangan:
UMn : Upah minimum yang akan ditetapkan. UMt : Upah minimum tahun berjalan.
Inflasit . . .
-
12 -
Inflasit : Inflasi yang dihitung dari
periode September tahun yang
lalu
sampai
dengan periode September tahun berjalan.
∆ PDBt : Pertumbuhan Produk
Domestik Bruto yang
dihitung dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang mencakup
periode kwartal III dan IV tahun sebelumnya
dan periode kwartal I dan II tahun
berjalan.
Formula
perhitungan Upah minimum adalah Upah
minimum tahun berjalan ditambah
dengan hasil perkalian antara Upah
minimum tahun berjalan dengan
penjumlahan tingkat inflasi nasional
tahun berjalan dan
tingkat pertumbuhan Produk Domestik
Bruto tahun berjalan.
Contoh:
UMt : Rp. 2.000.000,00
Inflasit : 5%
∆ PDBt
: 6%
UMn = UMt
+ {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt)}
UMn = Rp. 2.000.000,00 + {Rp. 2.000.000,00 x (5% +
6%)}
=
Rp. 2.000.000,00 + {Rp. 2.000.000,00 x 11%}
= Rp. 2.000.000,00 + Rp. 220.000,00
=
Rp. 2.220.000,00
Upah
minimum tahun berjalan sebagai dasar
perhitungan Upah minimum yang akan
ditetapkan dalam formula perhitungan Upah minimum, sudah berdasarkan kebutuhan hidup layak.
Penyesuaian . . .
-
13 -
Penyesuaian nilai kebutuhan hidup layak pada Upah
minimum yang akan ditetapkan
tersebut secara langsung terkoreksi melalui perkalian antara Upah minimum tahun berjalan
dengan inflasi tahun berjalan. Upah minimum yang dikalikan
dengan inflasi ini akan memastikan daya beli dari Upah minimum tidak akan berkurang. Hal ini didasarkan jenis-jenis kebutuhan yang ada
dalam kebutuhan hidup layak
juga merupakan jenis-jenis kebutuhan untuk
menentukan inflasi. Dengan demikian penggunaan tingkat inflasi dalam
perhitungan Upah minimum pada dasarnya sama dengan nilai kebutuhan hidup layak.
Penyesuaian Upah
minimum dengan menggunakan nilai pertumbuhan ekonomi
pada dasarnya untuk menghargai
peningkatan produktivitas secara keseluruhan.
Dalam pertumbuhan ekonomi
terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi, antara lain peningkatan produktivitas, pertumbuhan tenaga kerja,
dan pertumbuhan modal. Dalam formula ini, seluruh bagian dari pertumbuhan ekonomi dipergunakan dalam rangka peningkatan Upah minimum.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan Produk Domestik Bruto.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal 45
Cukup
jelas.
Pasal 46
Cukup jelas. Pasal 47
Cukup
jelas.
Pasal
48 . . .
- 14 -
Pasal 48
Cukup jelas. Pasal 49
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sektor unggulan“ adalah sektor usaha
menurut Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang berdasarkan hasil penelitian
dewan pengupahan provinsi atau dewan pengupahan kabupaten/kota, potensial
untuk ditetapkan Upah minimum sektoral.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal
55 . . .
- 15 -
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas. Pasal 58
Cukup Jelas
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal
66 . . .
- 16 -
Pasal 66
Cukup jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5747
Tidak ada komentar:
Posting Komentar