Cari Blog Ini

Jumat, 06 Juli 2018

PP NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN






SALINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015
TENTANG PENGUPAHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang   :  bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 97 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu menetapkan    Peraturan    Pemerintah    tentang Pengupahan;

Mengingat     :   1.  Pasal  5  ayat  (2)   Undang-Undang  Dasar  Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2.   Undang-Undang  Nomor  13  Tahun  2003  tentang Ketenagakerjaan      (Lembaran     Negara     Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);


MEMUTUSKAN:



Menetapkan  :  PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGUPAHAN.


- 2 -

BAB I KETENTUAN UMUM


Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.  Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan  dan  dibayarkan  menurut  suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
2. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
3.  Pengusaha adalah:
a. orang   perseorangan,   persekutuan,   atau   badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang   perseorangan,   persekutuan,   atau   badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang   perseorangan,   persekutuan,   atau   badan hukum               yang   berada   di   Indonesia   mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf  a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
4.  Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak,               milik      orang      perseorangan,      milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh  dengan   membayar   upah   atau imbalan dalam bentuk lain;


b. usaha-usaha . . .


- 3 -

b. usaha-usaha  sosial  dan  usaha-usaha  lain  yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5. Perjanjian    Kerja    adalah    perjanjian    antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
6.  Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat- syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
7. Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan                       hasil    perundingan    antara    serikat pekerja/serikat                       buruh    atau    beberapa    serikat pekerja/serikat  buruh  yang  tercatat  pada  instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak.
8.  Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang    mempunyai   unsur   pekerjaan,   upah,   dan perintah.
9. Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan         berakhirnya   hak   dan   kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
10. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan   maupun   di   luar   perusahaan,   yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta           meningkatkan   kesejahteraan   pekerja/buruh dan keluarganya.
11. Menteri   adalah   menteri   yang   menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.


- 4 - Pasal  2
Hak Pekerja/Buruh atas Upah timbul pada saat terjadi
Hubungan  Kerja  antara  Pekerja/Buruh  dengan Pengusaha dan berakhir pada saat putusnya Hubungan Kerja.


BAB II KEBIJAKAN PENGUPAHAN


Pasal 3

(1) Kebijakan pengupahan diarahkan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi Pekerja/Buruh.
(2) Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Upah minimum;
b. Upah kerja lembur;
c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. Upah   tidak   masuk   kerja   karena   melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. Upah  karena  menjalankan  hak  waktu  istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran Upah;
g. denda dan potongan Upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. Upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.


- 5 -

BAB III PENGHASILAN YANG LAYAK


Pasal 4

(1) Penghasilan     yang     layak     merupakan     jumlah penerimaan           atau  pendapatan  Pekerja/Buruh  dari hasil           pekerjaannya   sehingga   mampu   memenuhi kebutuhan hidup Pekerja/Buruh dan keluarganya secara wajar.
(2) Penghasilan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
a. Upah; dan
b. pendapatan non Upah.


Pasal 5

(1) Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
huruf a terdiri atas komponen:
a. Upah tanpa tunjangan;
b. Upah pokok dan tunjangan tetap; atau
c. Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap.
(2) Dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok dan  tunjangan  tetap  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) huruf b, besarnya Upah pokok paling sedikit
75%  (tujuh  puluh  lima  persen)  dari  jumlah  Upah pokok dan tunjangan tetap.
(3) Dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok, tunjangan                    tetap,    dan    tunjangan    tidak    tetap sebagaimana                    dimaksud   pada   ayat   (1)   huruf   c, besarnya Upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap.



(4) Upah . . .


- 6 -

(4) Upah  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.


Pasal 6

(1) Pendapatan non Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b berupa tunjangan hari raya keagamaan.
(2) Selain tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud                    pada    ayat    (1),    Pengusaha    dapat memberikan pendapatan non Upah berupa:
a. bonus;
b. uang pengganti fasilitas kerja; dan/atau c. uang servis pada usaha tertentu.


Pasal 7

(1) Tunjangan    hari    raya    keagamaan    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) wajib diberikan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh.
(2) Tunjangan    hari    raya    keagamaan    sebagaimana dimaksud                  pada  ayat  (1)  wajib  dibayarkan  paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan.
(3) Ketentuan mengenai tunjangan hari raya keagamaan dan  tata    cara    pembayarannya    diatur    dengan Peraturan Menteri.


Pasal 8

(1) Bonus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf         a  dapat  diberikan  oleh  Pengusaha  kepada Pekerja/Buruh atas keuntungan Perusahaan.






(2) Penetapan . . .


- 7 -

(2) Penetapan  perolehan  bonus  untuk  masing-masing Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.


Pasal 9

(1) Perusahaan dapat menyediakan fasilitas kerja bagi:
a. Pekerja/Buruh dalam jabatan/pekerjaan tertentu;
atau
b. seluruh Pekerja/Buruh.
(2) Dalam   hal   fasilitas   kerja   bagi    Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia atau      tidak     mencukupi,     Perusahaan     dapat memberikan uang     pengganti     fasilitas     kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b.
(3) Penyediaan  fasilitas  kerja  sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) dan pemberian uang pengganti fasilitas kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.


Pasal 10

(1) Uang   servis   pada   usaha   tertentu   sebagaimana dimaksud                    dalam    Pasal    6    ayat    (2)    huruf    c dikumpulkan dan dikelola oleh Perusahaan.
(2) Uang   servis   pada   usaha   tertentu   sebagaimana dimaksud          pada  ayat  (1)  wajib  dibagikan  kepada Pekerja/Buruh setelah dikurangi risiko kehilangan atau kerusakan  dan  pendayagunaan  peningkatan kualitas sumber daya manusia.
(3) Ketentuan mengenai uang servis pada usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.


- 8 -

BAB IV PELINDUNGAN UPAH


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 11

Setiap  Pekerja/Buruh  berhak  memperoleh  Upah  yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.


Bagian Kedua
Penetapan Upah


Pasal 12

Upah ditetapkan berdasarkan:
a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil.


Pasal 13

(1) Upah    berdasarkan    satuan    waktu    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a ditetapkan secara harian, mingguan, atau bulanan.
(2) Dalam    hal    Upah    ditetapkan    secara    harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perhitungan Upah sehari sebagai berikut:
a. bagi  Perusahaan  dengan  sistem  waktu  kerja  6 (enam) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi
25 (dua puluh lima); atau
b. bagi  Perusahaan  dengan  sistem  waktu  kerja  5 (lima) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi
21 (dua puluh satu).


- 9 - Pasal 14
(1) Penetapan besarnya Upah berdasarkan satuan waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a dilakukan dengan berpedoman pada struktur dan skala Upah.
(2) Struktur  dan  skala  Upah  sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) wajib disusun oleh Pengusaha dengan memperhatikan       golongan,   jabatan,   masa   kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(3) Struktur  dan  skala  Upah  sebagaimana  dimaksud pada ayat (2) wajib diberitahukan kepada seluruh Pekerja/Buruh.
(4) Struktur  dan  skala  Upah  sebagaimana  dimaksud pada  ayat  (2)  harus  dilampirkan  oleh  Perusahaan pada saat permohonan:
a. pengesahan       dan       pembaruan       Peraturan
Perusahaan; atau
b. pendaftaran,    perpanjangan,    dan    pembaruan
Perjanjian Kerja Bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 15

(1) Upah    berdasarkan    satuan    hasil    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b ditetapkan sesuai dengan hasil pekerjaan yang telah disepakati.
(2) Penetapan  besarnya  Upah  sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengusaha berdasarkan hasil   kesepakatan   antara   Pekerja/Buruh   dengan Pengusaha.


- 10 - Pasal 16
Penetapan   Upah   sebulan   berdasarkan   satuan   hasil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, untuk pemenuhan pelaksanaan ketentuan  peraturan perundang-undangan ditetapkan berdasarkan Upah rata- rata 3 (tiga) bulan terakhir yang diterima oleh Pekerja/Buruh.


Bagian Ketiga
Cara Pembayaran Upah


Pasal 17

(1) Upah wajib dibayarkan kepada Pekerja/Buruh yang bersangkutan.
(2) Pengusaha   wajib   memberikan   bukti   pembayaran Upah yang memuat rincian Upah yang diterima oleh Pekerja/Buruh pada saat Upah dibayarkan.
(3) Upah dapat dibayarkan kepada pihak ketiga dengan surat kuasa dari Pekerja/Buruh yang bersangkutan.
(4) Surat  kuasa  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)
hanya berlaku untuk 1 (satu) kali pembayaran Upah.


Pasal 18

(1) Pengusaha wajib membayar Upah pada waktu yang telah            diperjanjikan    antara    Pengusaha    dengan Pekerja/Buruh.
(2) Dalam  hal  hari  atau  tanggal  yang  telah disepakati jatuh pada hari libur atau hari yang diliburkan, atau hari istirahat mingguan, pelaksanaan pembayaran Upah     diatur   dalam   Perjanjian   Kerja,   Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.




Pasal 19 . . .


- 11 - Pasal 19
Pembayaran  Upah  oleh  Pengusaha  dilakukan  dalam
jangka waktu paling cepat seminggu 1 (satu) kali atau paling lambat sebulan 1 (satu) kali kecuali bila Perjanjian Kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.


Pasal 20

Upah Pekerja/Buruh harus dibayarkan seluruhnya pada setiap periode dan per tanggal pembayaran Upah.


Pasal 21

(1) Pembayaran  Upah  harus  dilakukan  dengan  mata uang rupiah Negara Republik Indonesia.
(2) Pembayaran Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)       dilakukan   pada   tempat   yang   diatur   dalam Perjanjian       Kerja,    Peraturan    Perusahaan,    atau Perjanjian Kerja Bersama.
(3) Dalam  hal  tempat  pembayaran  Upah  tidak  diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, maka pembayaran Upah dilakukan di tempat Pekerja/Buruh biasanya bekerja.


Pasal 22

(1) Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dibayarkan secara langsung atau melalui bank.
(2) Dalam  hal  Upah  dibayarkan  melalui  bank,  maka Upah harus     sudah     dapat     diuangkan     oleh Pekerja/Buruh pada tanggal pembayaran Upah yang disepakati kedua belah pihak.


- 12 -

Bagian Keempat
Peninjauan Upah


Pasal 23

(1) Pengusaha   melakukan   peninjauan   Upah   secara berkala untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup dan/atau         peningkatan  produktivitas  kerja  dengan mempertimbangkan kemampuan Perusahaan.
(2) Peninjauan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  diatur    dalam    Perjanjian    Kerja,    Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.


Bagian Kelima
Upah Pekerja/Buruh Tidak Masuk Kerja dan/atau
Tidak Melakukan Pekerjaan


Pasal  24

(1) Upah  tidak  dibayar  apabila  Pekerja/Buruh  tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan.
(2) Pekerja/Buruh  yang  tidak  masuk  kerja  dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan:
a. berhalangan;
b. melakukan    kegiatan  lain  di  luar  pekerjaannya;
atau
c. menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
tetap dibayar Upahnya.
(3) Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak           melakukan   pekerjaan   karena   berhalangan sebagaimana           dimaksud   pada   ayat   (2)   huruf   a meliputi:
a. Pekerja/Buruh    sakit    sehingga    tidak    dapat melakukan pekerjaan;


- 13 -

b. Pekerja/Buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; dan
c. Pekerja/Buruh tidak masuk bekerja karena:
1) menikah;
2) menikahkan anaknya;
3) mengkhitankan anaknya;
4) membaptiskan anaknya;
5) isteri melahirkan atau keguguran kandungan;
6) suami,   isteri,   orang   tua,   mertua,   anak, dan/atau menantu meninggal dunia; atau
7) anggota      keluarga      selain      sebagaimana dimaksud pada angka 6) yang tinggal dalam satu rumah meninggal dunia.
(4) Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak            melakukan   pekerjaan   karena   melakukan kegiatan  lain   di   luar   pekerjaannya   sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. menjalankan kewajiban terhadap negara;
b. menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan agamanya;
c. melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan Pengusaha dan dapat dibuktikan dengan adanya pemberitahuan tertulis; atau
d. melaksanakan tugas pendidikan dari Perusahaan. (5) Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk kerja dan/atau
tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya sebagaimana dimaksud pada ayat  (2)  huruf  c  apabila  Pekerja/Buruh melaksanakan:
a. hak istirahat mingguan;
b. cuti tahunan;
c. istirahat panjang;
d. cuti sebelum dan sesudah melahirkan; atau e. cuti keguguran kandungan.


- 14 - Pasal 25
Pengusaha wajib membayar Upah apabila Pekerja/Buruh
bersedia  melakukan  pekerjaan  yang  telah  dijanjikan tetapi Pengusaha tidak mempekerjakannya, karena kesalahan sendiri atau kendala yang seharusnya dapat dihindari  Pengusaha.


Pasal 26

(1) Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh yang tidak   masuk  kerja  dan/atau  tidak  melakukan pekerjaan          karena  sakit  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a sebagai berikut:
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus persen) dari Upah;
b. untuk  4  (empat)  bulan  kedua,  dibayar  75% (tujuh puluh lima persen) dari Upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh persen) dari Upah; dan
d. untuk   bulan   selanjutnya   dibayar   25%  (dua puluh lima    persen)    dari    upah    sebelum Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan oleh Pengusaha.
(2) Upah   yang   dibayarkan   kepada   Pekerja/Buruh perempuan yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan     pekerjaan   karena   sakit   pada   hari pertama dan kedua masa haidnya sebagaimana dimaksud        dalam   Pasal   24   ayat   (3)   huruf   b disesuaikan dengan jumlah hari menjalani masa sakit haidnya, paling lama 2 (dua) hari.
(3) Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh yang tidak   masuk  kerja  dan/atau  tidak  melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf c sebagai berikut:


- 15 -

a. Pekerja/Buruh menikah, dibayar untuk selama
3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama
2 (dua) hari;
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri  melahirkan  atau  keguguran  kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f. suami, isteri, orang tua, mertua, anak, dan/atau menantu                  meninggal   dunia,   dibayar   untuk selama 2 (dua) hari; atau
g. anggota keluarga selain sebagaimana dimaksud dalam huruf f yang tinggal dalam 1 (satu) rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.


Pasal 27

(1) Pekerja/Buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4)     huruf  a  tidak  melebihi  1  (satu)  tahun  dan penghasilan yang diberikan oleh negara kurang dari besarnya Upah yang biasa diterima Pekerja/Buruh, Pengusaha wajib membayar  kekurangannya.
(2) Pekerja/Buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4)     huruf  a  tidak  melebihi  1  (satu)  tahun  dan penghasilan yang diberikan oleh negara sama atau lebih        besar    dari    Upah    yang    biasa    diterima Pekerja/Buruh, Pengusaha tidak wajib membayar.
(3) Pekerja/Buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pengusaha.


- 16 - Pasal 28
Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh
yang tidak masuk kerja atau tidak melakukan pekerjaannya   karena   menjalankan   kewajiban  ibadah yang diperintahkan oleh agamanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf b, sebesar Upah yang diterima oleh Pekerja/Buruh dengan ketentuan hanya  sekali  selama  Pekerja/Buruh  bekerja  di Perusahaan yang bersangkutan.


Pasal 29

Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf c, sebesar Upah yang biasa diterima oleh Pekerja/Buruh.


Pasal 30

Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melaksanakan tugas pendidikan dari Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf d, sebesar Upah yang biasa diterima oleh Pekerja/Buruh.


Pasal 31

Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), sebesar Upah yang biasa diterima oleh Pekerja/Buruh.


- 17 - Pasal 32
Pengaturan     pelaksanaan     ketentuan     sebagaimana
dimaksud dalam  Pasal  24  sampai  dengan  Pasal  31 ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.


Bagian Keenam
Upah Kerja Lembur


Pasal 33

Upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b wajib dibayar oleh Pengusaha yang mempekerjakan  Pekerja/Buruh  melebihi  waktu  kerja atau  pada  istirahat  mingguan  atau  dipekerjakan  pada hari libur resmi sebagai kompensasi kepada Pekerja/Buruh yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Ketujuh
Upah untuk Pembayaran Pesangon


Pasal 34

(1) Komponen   Upah   yang   digunakan   sebagai   dasar perhitungan uang pesangon terdiri atas:
a. Upah pokok; dan
b. tunjangan     tetap     yang     diberikan     kepada Pekerja/Buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada Pekerja/Buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar Pekerja/Buruh dengan subsidi, maka sebagai Upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh Pekerja/Buruh.


- 18 -

(2) Dalam   hal   Pengusaha   memberikan   Upah   tanpa tunjangan,                      dasar    perhitungan    uang    pesangon dihitung                  dari    besarnya    Upah    yang    diterima Pekerja/Buruh.


Pasal 35

Upah untuk pembayaran pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) diberikan dengan ketentuan:
a. dalam hal penghasilan Pekerja/Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 (tiga puluh) kali penghasilan sehari;
b. dalam hal Upah Pekerja/Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari           ketentuan    Upah    minimum    provinsi    atau kabupaten/kota; atau
c. dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan Upahnya didasarkan pada Upah borongan, maka perhitungan Upah sebulan dihitung dari Upah rata- rata 12 (dua belas) bulan terakhir.


Bagian Kedelapan
Upah untuk Perhitungan Pajak Penghasilan


Pasal 36

(1) Upah  untuk  perhitungan  pajak  penghasilan  yang dibayarkan untuk pajak penghasilan dihitung dari seluruh penghasilan      yang      diterima      oleh Pekerja/Buruh.


- 19 -

(2) Pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)     dapat   dibebankan   kepada   Pengusaha   atau Pekerja/Buruh  yang  diatur  dalam  Perjanjian Kerja, Peraturan  Perusahaan,  atau  Perjanjian  Kerja Bersama.
(3) Upah     untuk     perhitungan     pajak     penghasilan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kesembilan
Pembayaran Upah dalam Keadaan Kepailitan


Pasal 37

(1) Pengusaha   yang   dinyatakan   pailit   berdasarkan putusan            pernyataan  pailit  oleh  pengadilan  maka Upah  dan   hak-hak   lainnya   dari   Pekerja/Buruh merupakan       hutang         yang         didahulukan pembayarannya.
(2) Upah  Pekerja/Buruh  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Hak-hak  lainnya  dari  Pekerja/Buruh  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya setelah   pembayaran  para  kreditur  pemegang  hak jaminan kebendaan.


Pasal 38

Apabila Pekerja/Buruh jatuh pailit, Upah dan segala pembayaran yang timbul dari Hubungan Kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan lain oleh hakim dengan ketentuan tidak melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari Upah dan segala pembayaran yang timbul dari Hubungan Kerja yang harus dibayarkan.




Bagian . . .


- 20 -

Bagian Kesepuluh
Penyitaan Upah Berdasarkan Perintah Pengadilan


Pasal 39

Apabila uang yang disediakan oleh Pengusaha untuk membayar   Upah   disita   oleh   juru   sita   berdasarkan perintah pengadilan maka penyitaan tersebut tidak boleh melebihi 20% (dua puluh persen) dari jumlah Upah yang harus dibayarkan.


Bagian Kesebelas
Hak Pekerja/Buruh Atas Keterangan Upah


Pasal 40

(1) Pekerja/Buruh atau kuasa yang ditunjuk secara sah berhak meminta keterangan mengenai  Upah untuk dirinya dalam hal keterangan terkait Upah tersebut hanya dapat   diperoleh   melalui   buku   Upah   di Perusahaan.
(2) Apabila     permintaan     keterangan     sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil maka Pekerja/Buruh     atau  kuasa  yang  ditunjuk  berhak meminta bantuan kepada pengawas ketenagakerjaan.
(3) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dirahasiakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


















BAB V . . .


- 21 -

BAB V UPAH MINIMUM


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 41

(1) Gubernur menetapkan Upah minimum sebagai jaring pengaman.
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Upah bulanan terendah yang terdiri atas: a. Upah tanpa tunjangan; atau
b. Upah pokok termasuk tunjangan tetap.


Pasal 42

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 ayat (1) hanya berlaku bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada Perusahaan yang bersangkutan.
(2) Upah bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara Pekerja/Buruh  dengan  Pengusaha  di  Perusahaan yang bersangkutan.


Pasal 43

(1) Penetapan  Upah  minimum  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
(2) Kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   merupakan   standar   kebutuhan   seorang Pekerja/Buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.


- 22 -

(3) Kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas beberapa komponen.
(4) Komponen  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)
terdiri atas beberapa jenis kebutuhan hidup.
(5) Komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan jenis kebutuhan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditinjau dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.
(6) Peninjauan  komponen  dan  jenis  kebutuhan  hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh Menteri dengan mempertimbangkan hasil kajian yang dilaksanakan oleh Dewan Pengupahan Nasional.
(7) Kajian  yang  dilaksanakan  oleh  Dewan  Pengupahan Nasional                 sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (6) menggunakan  data  dan  informasi  yang  bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
(8) Hasil  peninjauan  komponen  dan  jenis  kebutuhan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi dasar   perhitungan   Upah   minimum   selanjutnya dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
(9) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  kebutuhan  hidup layak diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 44

(1) Penetapan  Upah  minimum  sebagaimana  dimaksud dalam              Pasal    43    ayat    (1)    dihitung    dengan menggunakan formula perhitungan Upah minimum.
(2) Formula  perhitungan  Upah  minimum  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt)}
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan Upah minimum                       dengan       menggunakan       formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.


- 23 -

Bagian Kedua
Penetapan Upah minimum Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota


Pasal 45

(1) Gubernur wajib menetapkan Upah minimum provinsi. (2) Penetapan   Upah   minimum   provinsi   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan formula perhitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (2).
(3) Dalam  hal  telah  dilakukan  peninjauan  kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat    (5),   gubernur   menetapkan   Upah   minimum provinsi dengan memperhatikan rekomendasi dewan pengupahan provinsi.
(4) Rekomendasi       dewan       pengupahan       provinsi sebagaimana                   dimaksud  pada  ayat  (3)  didasarkan pada hasil peninjauan kebutuhan hidup layak yang komponen dan jenisnya ditetapkan oleh Menteri dan dengan       memperhatikan       produktivitas       dan pertumbuhan ekonomi.


Pasal 46

(1) Gubernur    dapat    menetapkan    Upah    minimum kabupaten/kota.
(2) Upah     minimum     kabupaten/kota     sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari Upah minimum provinsi di provinsi yang bersangkutan.


Pasal 47

(1) Penetapan      Upah      minimum      kabupaten/kota sebagaimana                       dimaksud  dalam  Pasal  46  dihitung berdasarkan formula perhitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2).



(2) Dalam . . .


- 24 -

(2) Dalam  hal  telah  dilakukan  peninjauan  kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat    (5),   gubernur   menetapkan   Upah   minimum kabupaten/kota dengan memperhatikan rekomendasi bupati/walikota serta saran dan pertimbangan dewan pengupahan provinsi.
(3) Rekomendasi bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan saran dan pertimbangan dewan pengupahan kabupaten/kota.
(4) Rekomendasi    bupati/walikota    serta    saran    dan pertimbangan                         dewan       pengupahan       provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan saran dan pertimbangan         dewan  pengupahan  kabupaten/kota sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  didasarkan pada hasil peninjauan kebutuhan hidup layak yang komponen dan jenisnya ditetapkan oleh Menteri dan dengan                   memperhatikan       produktivitas       dan pertumbuhan ekonomi.


Pasal 48

Ketentuan lebih lanjut mengenai Upah minimum provinsi dan/atau kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Ketiga
Penetapan Upah Minimum
Sektoral Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota


Pasal 49

(1) Gubernur dapat menetapkan Upah minimum sektoral provinsi dan/atau  kabupaten/kota berdasarkan hasil kesepakatan                       asosiasi   pengusaha   dengan   serikat pekerja/serikat                       buruh      pada      sektor      yang bersangkutan.


- 25 -

(2) Penetapan  Upah  minimum  sektoral    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat saran dan pertimbangan mengenai sektor unggulan dari      dewan   pengupahan   provinsi   atau   dewan pengupahan  kabupaten/kota  sesuai  dengan  tugas dan kewenangannya.
(3) Upah    minimum    sektoral    provinsi    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari Upah minimum provinsi di provinsi yang bersangkutan.
(4) Upah       minimum       sektoral       kabupaten/kota sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  harus  lebih besar   dari   Upah   minimum   kabupaten/kota   di kabupaten/kota yang bersangkutan.


Pasal 50

Ketentuan lebih lanjut mengenai Upah minimum sektoral provinsi dan/atau kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Menteri.


BAB VI
HAL-HAL YANG DAPAT DIPERHITUNGKAN DENGAN UPAH


Pasal 51

(1) Hal-hal  yang  dapat  diperhitungkan  dengan  Upah terdiri atas:
a. denda;
b. ganti rugi;
c. pemotongan Upah untuk pihak ketiga;
d. uang muka Upah;
e. sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik Perusahaan                       yang   disewakan   oleh   Pengusaha kepada Pekerja/Buruh;


- 26 -

f. hutang atau cicilan hutang Pekerja/Buruh kepada
Pengusaha; dan/atau
g. kelebihan pembayaran Upah.
(2) Hal-hal  yang  dapat  diperhitungkan  dengan  Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b,      dan   huruf   d,   dilaksanakan   sesuai   dengan Perjanjian       Kerja,    Peraturan    Perusahaan,    atau Perjanjian Kerja Bersama.


Pasal 52

Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 yang menjadi kewajiban Pekerja/Buruh yang belum dipenuhi dan/atau piutang Pekerja/Buruh yang menjadi hak Pekerja/Buruh yang belum  terpenuhi  dapat  diperhitungkan  dengan  semua hak yang diterima sebagai akibat Pemutusan Hubungan Kerja.


BAB VII
PENGENAAN DENDA DAN PEMOTONGAN UPAH


Bagian Kesatu
Pengenaan Denda


Pasal 53

Pengusaha  atau  Pekerja/Buruh  yang  melanggar ketentuan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama karena kesengajaan atau kelalaiannya  dikenakan  denda  apabila  diatur  secara tegas  dalam  Perjanjian  Kerja,  Peraturan  Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.









Pasal 54 . . .


- 27 - Pasal 54
(1) Denda   kepada   Pengusaha   atau    Pekerja/Buruh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipergunakan hanya untuk kepentingan Pekerja/Buruh.
(2) Jenis-jenis pelanggaran yang dapat dikenakan denda, besaran denda dan penggunaan uang denda diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.


Pasal 55

(1) Pengusaha  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  53 yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai denda, dengan ketentuan:
a. mulai  dari  hari  keempat  sampai  hari  kedelapan terhitung             tanggal    seharusnya    Upah    dibayar, dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) untuk setiap hari    keterlambatan    dari    Upah    yang seharusnya dibayarkan;
b. sesudah   hari   kedelapan,   apabila   Upah   masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana  dimaksud  dalam  huruf  a  ditambah
1% (satu persen) untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari Upah yang seharusnya dibayarkan; dan
c. sesudah   sebulan,   apabila   Upah   masih   belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.
(2) Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha  untuk tetap membayar Upah kepada Pekerja/Buruh.


- 28 - Pasal 56
(1) Pengusaha yang terlambat membayar tunjangan hari
raya keagamaan kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total  tunjangan hari raya  keagamaan  yang  harus  dibayar  sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar.
(2) Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha  untuk tetap   membayar  tunjangan  hari  raya  keagamaan kepada Pekerja/Buruh.


Bagian Kedua
Pemotongan Upah


Pasal 57

(1) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk:
a. denda;
b. ganti rugi; dan/atau c. uang muka Upah,
dilakukan sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, atau Peraturan Kerja Bersama.
(2) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan apabila ada surat kuasa dari Pekerja/Buruh.
(3) Surat  kuasa  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)
setiap saat dapat ditarik kembali.
(4) Surat    kuasa    dari    Pekerja/Buruh    sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk semua kewajiban pembayaran oleh Pekerja/Buruh terhadap negara atau iuran sebagai peserta pada suatu dana yang         menyelenggarakan    jaminan    sosial    yang ditetapkan    sesuai   dengan   ketentuan   peraturan perundang-undangan.


- 29 -

(5) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk:
a. pembayaran     hutang     atau     cicilan     hutang
Pekerja/Buruh; dan/atau
b. sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik Perusahaan yang   disewakan   oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh,
harus  dilakukan  berdasarkan  kesepakatan  tertulis atau perjanjian tertulis.
(6) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk kelebihan pembayaran Upah kepada Pekerja/Buruh dilakukan tanpa persetujuan Pekerja/Buruh.


Pasal 58

Jumlah keseluruhan pemotongan Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 paling banyak 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima Pekerja/Buruh.


BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF


Pasal 59

(1) Sanksi  administratif  dikenakan  kepada  Pengusaha yang:
a. tidak  membayar  tunjangan  hari  raya keagamaan kepada               Pekerja/Buruh   sebagaimana   dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2);
b. tidak membagikan uang servis pada usaha tertentu kepada               Pekerja/Buruh   sebagaimana   dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2);


- 30 -

c. tidak    menyusun    struktur    dan    skala    Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) serta        tidak   memberitahukan   kepada   seluruh Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (3);
d. tidak  membayar  Upah  sampai  melewati  jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
e. tidak  memenuhi  kewajibannya  untuk  membayar denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53; dan/atau
f. melakukan pemotongan Upah lebih dari 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima Pekerja/Buruh  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 58.
(2) Sanksi  administratif  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan
d. pembekuan kegiatan usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 60

(1) Menteri, menteri terkait, gubernur, bupati/walikota, atau   pejabat    yang    ditunjuk    sesuai    dengan kewenangannya            mengenakan   sanksi   administratif sebagaimana            dimaksud   dalam   Pasal   59   kepada Pengusaha.


- 31 -

(2) Pengenaan     sanksi     administratif     sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan     yang    dilakukan    oleh     pengawas ketenagakerjaan yang berasal dari:
a. pengaduan; dan/atau
b. tindak lanjut hasil pengawasan ketenagakerjaan.
(3) Pemeriksaan    yang    dilakukan    oleh     pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan   sesuai  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan.


Pasal 61

Pengusaha yang telah dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) tidak menghilangkan kewajibannya untuk membayar hak Pekerja/Buruh.


Pasal 62

Menteri terkait, gubernur, bupati/walikota, atau pejabat yang ditunjuk memberitahukan pelaksanaan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 ayat (2) kepada Menteri.


BAB IX KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 63

Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku:
a. upah    minimum    provinsi    yang    masih    dibawah kebutuhan hidup layak, gubernur wajib menyesuaikan Upah       minimun  provinsi  sama  dengan  kebutuhan hidup layak secara bertahap paling lama 4 (empat) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan;


- 32 -

b. Pengusaha  yang  belum  menyusun  dan  menerapkan struktur                dan   skala   Upah,   wajib   menyusun   dan menerapkan struktur dan skala Upah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini serta melampirkannya dalam permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) paling lama 2 (tahun) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.


BAB  X KETENTUAN PENUTUP


Pasal 64

Pada  saat  Peraturan  Pemerintah  ini  mulai  berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai pengupahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 65

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan  Upah  (Lembaran  Negara  Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3190), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal  66

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


- 33 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 23 Oktober 2015

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
JOKO WIDODO


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 23 Oktober 2015

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,


ttd. YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 237









PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015
TENTANG

PENGUPAHAN



I.     UMUM

Upah merupakan salah satu aspek yang paling sensitif di dalam Hubungan Kerja. Berbagai pihak yang terkait melihat Upah dari sisi masing-masing yang berbeda. Pekerja/Buruh melihat Upah sebagai sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup Pekerja/Buruh dan keluarganya. Secara psikologis Upah juga dapat menciptakan kepuasan bagi Pekerja/Buruh. Di lain pihak, Pengusaha melihat Upah sebagai salah satu biaya produksi. Pemerintah melihat Upah, di satu pihak untuk tetap dapat menjamin terpenuhinya kehidupan yang layak bagi Pekerja/Buruh dan keluarganya, meningkatkan produktivitas Pekerja/Buruh, dan meningkatkan daya beli masyarakat.

Dengan melihat berbagai kepentingan yang berbeda tersebut, pemahaman  sistem  pengupahan  serta  pengaturannya  sangat diperlukan untuk memperoleh kesatuan pengertian dan penafsiran terutama antara Pekerja/Buruh dan Pengusaha.

Agar terpenuhinya kehidupan yang layak, penghasilan Pekerja/Buruh harus dapat memenuhi kebutuhan fisik, non fisik dan sosial, yang meliputi makanan, minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, jaminan hari tua, dan rekreasi.   Untuk itu kebijakan pengupahan juga harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja serta meningkatkan kesejahteraan Pekerja/Buruh beserta keluarganya.

Peraturan . . .


- 2 -




Peraturan  Pemerintah  Nomor  8  Tahun  1981  tentang Perlindungan Upah perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan keadaan. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 perlu dilakukan penyempurnaan. Peraturan Pemerintah ini diharapkan dapat dipakai sebagai pegangan dalam pelaksanaan Hubungan Kerja dalam menangani berbagai permasalahan di bidang pengupahan yang
semakin kompleks.

Untuk     peningkatan     kesejahteraan
Pekerja/Buruh
dan
keluarganya    yang    mendorong    kemajuan
dunia    usaha
serta
produktivitas kerja, ketentuan mengenai pengaturan penghasilan yang
layak, kebijakan pengupahan, pelindungan pengupahan, penetapan Upah minimum, dan pengenaan denda dalam Peraturan Pemerintah diarahkan pada sistem pengupahan secara menyeluruh. Peraturan Pemerintah ini pada hakekatnya mengatur pengupahan secara menyeluruh yang mampu menjamin kelangsungan hidup secara layak bagi Pekerja/Buruh dan keluarganya sesuai dengan perkembangan dan kemampuan dunia usaha.

Peraturan Pemerintah ini antara lain memuat:
a.   Kebijakan pengupahan; b.   Penghasilan yang layak; c.    Pelindungan Upah;
d.   Upah minimum;
e.    Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
f.    Pengenaan denda dan pemotongan Upah; dan g.   Sanksi administratif.


- 3 -

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1

Cukup jelas.


Pasal 2

Yang dimaksud dengan ”pada saat terjadi Hubungan Kerja” yaitu sejak adanya Perjanjian Kerja baik tertulis maupun tidak tertulis antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh.

Yang dimaksud dengan ”pada saat putusnya Hubungan Kerja”, antara lain Pekerja/Buruh meninggal dunia, adanya Persetujuan Bersama atau adanya penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Pasal 3

Cukup jelas.


Pasal 4

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Pendapatan non Upah merupakan penerimaan Pekerja/Buruh dari pemberi kerja dalam bentuk uang untuk pemenuhan kebutuhan keagamaan, memotivasi peningkatan produktivitas, atau peningkatan kesejahteraan Pekerja/Buruh dan keluarganya.


- 4 -

Pasal 5

Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Upah tanpa tunjangan” adalah sejumlah uang yang diterima oleh Pekerja/Buruh secara tetap.
Contoh:
Seorang pekerja A menerima Upah sebesar Rp3.000.000,00  (tiga  juta  rupiah)  sebagai Upah bersih (clean wages). Besaran Upah tersebut utuh digunakan  sebagai  dasar  perhitungan  hal–hal yang terkait dengan Upah, seperti tunjangan hari raya keagamaan, Upah lembur, pesangon, iuran jaminan sosial, dan lain – lain.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Upah pokok” adalah imbalan dasar yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

Yang   dimaksud   dengan   “tunjangan   tetap   adalah pembayaran   kepada   Pekerja/Buruh   yang   dilakukan secara  teratur  dan  tidak  dikaitkan  dengan  kehadiran Pekerja/Buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu. Contoh:
Komponen Upah terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tetap:


- 5 -

Seorang pekerja menerima Upah sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dengan komponen Upah pokok Rp2.250.000,00   (dua juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan tunjangan tetap Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Dengan perhitungan sebagai berikut:
Upah yang diterima = Rp3.000.000,00 = 100%
Upah pokok = 75% x Rp3.000.000,00 = Rp2.250.000,00
Tunjangan  tetap  =  25%  x  Rp3.000.000,00  = Rp750.000,00
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tunjangan tidak tetap” adalah suatu pembayaran yang secara langsung atau tidak langsung  berkaitan  dengan  Pekerja/Buruh,  yang diberikan secara tidak tetap untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya  serta  dibayarkan  menurut  satuan  waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran Upah pokok, seperti tunjangan transport dan/atau tunjangan makan yang didasarkan pada kehadiran.
Contoh:
Komponen  Upah  terdiri  atas  Upah  pokok,  tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap:
Seorang Pekerja/Buruh menerima Upah sebesar Rp3.500.000,00 (tiga juta lima ratus ribu rupiah) dengan komponen Upah pokok Rp2.250.000,00 (dua juta dua ratus lima puluh ribu rupiah), tunjangan tetap Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), dan tunjangan tidak tetap Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Dengan perhitungan sebagai berikut:
Upah yang diterima = Rp3.500.000,00 = 100%
Upah pokok = 75% x Rp3.000.000,00 = Rp2.250.000,00


- 6 -

Tunjangan    tetap    =    25%    x    Rp3.000.000,00    = Rp750.000,00
Tunjangan tidak tetap = Rp500.000,00


Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a

Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Yang  dimaksud  dengan  “pada  usaha  tertentu” yaitu usaha perhotelan dan usaha restoran di perhotelan.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “fasilitas kerja” adalah sarana/peralatan yang disediakan oleh Perusahaan bagi jabatan atau pekerjaan tertentu atau seluruh Pekerja/Buruh  untuk  menunjang pelaksanaan pekerjaan.


- 7 -

Contoh:
Fasilitas kendaraan, kendaraan antar jemput Pekerja/Buruh,   dan/atau   pemberian   makan   secara cuma-cuma.
Yang dimaksud dengan jabatan/pekerjaan tertentu” adalah kedudukan atau kegiatan yang membutuhkan fasilitas dan keahlian tertentu untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas yang ditetapkan oleh Perusahaan sebagai penerima fasilitas kerja.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.


Pasal 10

Cukup jelas.


Pasal 11

Yang dimaksud dengan “pekerjaan yang sama nilainya” adalah pekerjaan yang bobotnya sama diukur dari kompetensi, risiko kerja, dan tanggung jawab dalam satu Perusahaan.

Pasal 12

Cukup jelas.


Pasal 13

Cukup jelas.


Pasal 14

Ayat (1)
Cukup jelas.


- 8 -

Ayat (2)











Ayat (3) Ayat (4) Ayat (5)


Struktur  dan  skala  Upah  antara  lain  dimaksudkan untuk:
a. mewujudkan Upah yang berkeadilan;
b. mendorong peningkatan produktivitas di Perusahaan;
c. meningkatkan kesejahteraan Pekerja/Buruh; dan
d. menjamin     kepastian     Upah     dan     mengurangi kesenjangan antara Upah terendah dan tertinggi.
Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas.


Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Yang dimaksud dengan ”pemenuhan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah pemenuhan kewajiban Pengusaha kepada Pekerja/Buruh antara lain tunjangan hari raya keagamaan, Upah lembur, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, Upah karena sakit, iuran dan manfaat jaminan sosial.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.




Pasal 20 . . .


- 9 -

Pasal 20

Cukup jelas.


Pasal 21

Cukup jelas.


Pasal 22

Cukup jelas.


Pasal 23

Cukup jelas.


Pasal 24

Cukup jelas.


Pasal 25

Yang dimaksud dengan Pekerja/Buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi Pengusaha tidak mempekerjakannya”  misalnya  Pekerja/Buruh yang diperintahkan untuk membongkar muatan kapal akan tetapi karena   sesuatu   hal   kapal   tersebut   tidak   datang,   maka Pengusaha harus membayar Upah Pekerja/Buruh.

Pasal 26

Cukup jelas.


Pasal 27

Cukup jelas.


Pasal 28

Cukup jelas.


Pasal 29

Cukup jelas.




Pasal 30 . . .


- 10 -

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Seorang Pekerja/Buruh sangat dimungkinkan akan dapat jatuh pailit yang disebabkan tidak terbayarnya hutang kepada pihak lain, baik kepada Pengusaha dan/atau orang lain. Untuk menjamin kehidupan Pekerja/Buruh yang keseluruhan harta bendanya disita, ada jaminan untuk hidup bagi dirinya beserta keluarganya. Oleh karena itu dalam Pasal ini Upah dan pembayaran lainnya yang menjadi hak Pekerja/Buruh tidak termasuk dalam kepailitan. Penyimpangan terhadap ketentuan Pasal  ini  hanya  dapat  dilakukan  oleh  hakim  dengan  batas sampai dengan 25% (dua puluh lima persen).




Pasal 39 . . .


- 11 -

Pasal 39

Cukup jelas.


Pasal 40

Cukup jelas.


Pasal 41

Ayat (1)
Penetapan Upah minimum berfungsi sebagai jaring pengaman (safety net) agar Upah tidak dibayar lebih rendah dari Upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah dan juga agar Upah tidak merosot sampai pada tingkat yang membahayakan gizi Pekerja/Buruh sehingga tidak mengganggu kemampuan kerja.

Ayat (2)
Cukup jelas.


Pasal 42

Cukup jelas.


Pasal 43

Cukup jelas.


Pasal 44

Ayat (1) Ayat (2)


Cukup jelas.


Formula perhitungan Upah minimum: UMn = UMt + {UMt x (Inflasit  +  % ∆ PDBt )} Keterangan:
UMn                  :  Upah minimum yang akan ditetapkan. UMt                   :  Upah minimum tahun berjalan.



Inflasit . . .


- 12 -

Inflasit           :  Inflasi    yang    dihitung    dari    periode September                  tahun   yang   lalu   sampai dengan                 periode     September     tahun berjalan.
∆ PDBt            :  Pertumbuhan   Produk   Domestik   Bruto yang dihitung dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang mencakup periode kwartal III dan IV tahun sebelumnya dan periode kwartal I dan II tahun berjalan.

Formula perhitungan Upah minimum adalah Upah minimum tahun berjalan ditambah dengan hasil perkalian antara Upah minimum tahun berjalan dengan penjumlahan  tingkat  inflasi  nasional  tahun  berjalan dan  tingkat  pertumbuhan  Produk  Domestik  Bruto tahun berjalan.

Contoh:
UMt                   : Rp. 2.000.000,00
Inflasit            : 5%
∆ PDBt            : 6%

UMn = UMt + {UMt x (Inflasit +  % ∆ PDBt)}
UMn  = Rp. 2.000.000,00 + {Rp. 2.000.000,00 x (5% +
6%)}
= Rp. 2.000.000,00 + {Rp. 2.000.000,00 x 11%}
= Rp. 2.000.000,00 + Rp. 220.000,00
= Rp. 2.220.000,00

Upah minimum tahun berjalan sebagai dasar perhitungan  Upah  minimum  yang  akan  ditetapkan dalam formula perhitungan Upah minimum, sudah berdasarkan kebutuhan hidup layak.













Penyesuaian . . .


- 13 -

Penyesuaian nilai kebutuhan hidup layak pada Upah minimum   yang   akan   ditetapkan   tersebut   secara langsung terkoreksi melalui perkalian antara Upah minimum tahun berjalan dengan inflasi tahun berjalan. Upah minimum yang dikalikan dengan inflasi ini akan memastikan daya beli dari Upah minimum tidak akan berkurang. Hal ini didasarkan jenis-jenis kebutuhan yang  ada  dalam  kebutuhan  hidup  layak  juga merupakan jenis-jenis kebutuhan untuk menentukan inflasi. Dengan demikian penggunaan tingkat inflasi dalam perhitungan Upah minimum pada dasarnya sama dengan nilai kebutuhan hidup layak.
Penyesuaian  Upah  minimum  dengan  menggunakan nilai pertumbuhan ekonomi pada dasarnya untuk menghargai peningkatan produktivitas secara keseluruhan. Dalam pertumbuhan ekonomi terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain peningkatan produktivitas, pertumbuhan tenaga kerja, dan pertumbuhan modal. Dalam formula ini, seluruh bagian dari pertumbuhan ekonomi dipergunakan dalam rangka peningkatan Upah minimum.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan Produk Domestik Bruto.
Ayat (3)

Cukup jelas.


Pasal 45

Cukup jelas.


Pasal 46

Cukup jelas. Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48 . . .


- 14 -

Pasal 48
Cukup jelas. Pasal 49

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sektor unggulan“ adalah sektor usaha menurut Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang berdasarkan hasil penelitian dewan pengupahan provinsi atau dewan pengupahan kabupaten/kota, potensial untuk ditetapkan Upah minimum sektoral.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.


Pasal 50

Cukup jelas.


Pasal 51

Cukup jelas.


Pasal 52

Cukup jelas.


Pasal 53

Cukup jelas.


Pasal 54

Cukup jelas.



Pasal 55 . . .


- 15 -

Pasal 55

Cukup jelas.


Pasal 56

Cukup jelas.


Pasal 57

Cukup jelas. Pasal 58
Cukup Jelas


Pasal 59

Cukup jelas.


Pasal 60

Cukup jelas.


Pasal 61

Cukup jelas.


Pasal 62

Cukup jelas.


Pasal 63

Cukup jelas.


Pasal 64

Cukup jelas.


Pasal 65

Cukup jelas.




Pasal 66 . . .


- 16 -

Pasal 66

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5747

Tidak ada komentar:

Posting Komentar